Skip to main content

Suatu Malam Di Angkringan

Bapak Penjual AngkringanLelaki setengah tua masih sibuk melayani para pembelinya. Dia dengan sangat cekatannya meracik segelas teh dan wedhang jahe panas pesanan langganannya. Sekali-sekali ia tersenyum dan mengobrol dengan orang-orang yang menunggu pesanannya. Malam ini memang bangku-bangku di angkringan ini telah dipenuhi oleh para pembeli setianya. Ramah dan murah senyum barangakali itu yang menjadi kunci suksesnya selama ini berdagang angkringan.

Remang-remang lampu minyak menerangi angkringan, salah satu ciri khasnya selain penutup yang sebagian besar berwarna oranye. Jika dirasakan lampu seperti itu tak cukup untuk menerangi seluruh sisi warung akan tetapi justru ini yang menambah cita rasa, suasana tersendiri yang membuat orang berjam-jam kerasan untuk nongkrong di warung itu. Suasana yang justru akan kehilangan sesuatu jika menggunakan lampu yang lebih terang.

Suasana remang-remang dan sedikit gelap ternyata hanya diluarnya saja. Tak begitu dengan hati mereka yang ada di sana justru kebanyakan akan merasakan lega, bisa terbebas dari stress dan nikmat yang luar biasa. Suasana seperti itu akan lebih terasa jika ditunjang oleh segelas teh nasgitel (panas, legi, kental/panas, manis, kental), gorengan dan sebungkus nasi yang sering disebut dengan nasi kucing. Semua itu seperti piranti-piranti penting dalam memualai sebuah diskusi yang tanpa ada tekanan, bebas dan satu hal yang perlu dicatat topik pembicaraannya selalu up to date.

Hal yang dibicarakan oleh para pembeli angkringan yang sering berkumpul selalu bergonta-ganti topik dengan berbagai aneka cita rasa. Terkadang ada topik yang berbau saru, klenik dan mistis, tentang perkembangan politik, liga Indonesia, tinju hingga berapa prediksi nomor togel yang akan keluar. Wajah-wajah ceria ngobrol dengan lepas tanpa tekanan dan penuh dengan suasana kekeluargaan.

Tak tahu secara pasti kapan pertama kali angkringan-angkringan ini datang ke kota ini. Ada yang bilang kedatangannya sekitar tahun 1980an. Diantara pedagang angkringan tersebut sebagian besar adalah orang dari Klaten. Hal yang perlu dicatat ternyata Yogya bukanlah asal dari angkringan meskipun saat ini di tiap sudut kota dan gang-gang bertebaran ribuan pedagang angkringan.

Di Yogya ada banyak warung angkringan yang cukup melegenda. Angkringan yang terletak di jalan Gejayan, dengan antrean panjangnya, angkringan di Utara stasiun tugu dengan menu kopi josnya (kopi yang dimasuki dengan arang yang membara), dan masih banyak lagi dengan ciri khas masing-masing.

Warung angkringan tempat makan di mana para pembeli sering menggunakannya sebagai tempat pelepas lelah dari segala aktivitas seharian. Di sini suntikan darah segar dan semangat baru bisa didapatkan. Hanya dengan berbekal uang ribuan segala penat bis hilang dan keesokan hari mampu melewati segala aktivitas dengan semangat baru.
Sebenarnya aku baru mengenal warung angkringan sekitar lima tahun yang lalu, ketika untuk pertama kali menginjak kaki di kota ini. Saat itu sempat juga terkaget kaget dengan harga saat itu. Makan dua bungkus nasi dan segelas teh panas tak lebih dari seribu lima ratus yang kubayarkan. Coba di bagian mana di negeri ini ada harga yang semurah itu.

Sering juga aku mengikuti pembicaraan mereka. Ada yang lucu serius semuanya bisa bergabung di forum tersebut.
" Kang katanya harga BBM yang sempat dinaikkan mau di turunkan lagi ya?"Seseorang dengan usia paruh baya pada rekannya yang kebetulan duduk di sebelahku.

"Ah ngga tahu yang begituan, seperti itu urusan orang diatas sana. Mereka yang dulunya kita pilih sebagai wakil kita di Senayan sana". Jawab lelaki tua yang duduk di sebelahku.
" Iya kang sebagai rakyat kecil bisanya apa! Kalau diturunkan lagi ya syukur kalau nggak mau gimana lagi. Mau apa demonstrasi apa suara kita akan didengar?"
Melihat dan mendengar perbincangan mereka seakan tak mau ketinggalan sang penjual angkringan langsung saja menanggapi.
"Setuju, saya setuju dengan yang tadi. Kalau sampe harus demo-demoan segala nanti kapan waktu jualannya. Mending jualan saja."

Mendengar jawaban pak tua pedagang angkringan semuanya tertawa lepas. Aku sendiri secara tak sadar menikmati pembicaraan itu dan ikut tertawa. Ekspresi mereka, kepolosan, dan sekaligus terharu dengan perjuangan mereka dalam menjalani perjuangan dalam kehidupan ini sesuai dengan cara yang meraka fahami.

Malam semakin larut. Pembicaraan mereka rasanya tak pernah kehabisan topik. Aku lihat jam tanganku memang sudah hampir tengah malam. Segera saja aku bangkit mendatangi penjual itu dan membayar semua yang kumakan dan minum .
"Sudah pak ! Aku makan nasi tiga bungkus, the panas dan gorengan dua". Dengan cepat pak tua itu menghitung. Tanpa menggunakan kalkulator canggih dia segera menyebut berapa yang harus kubayar. Begitu saja dia menyebut dengan berbekal sebuah kepercayaan yang ia berikan pada para pembelinya.

Segera kusodorkan uang yang ia sebutkan dan segera undur diri dari ajang diskusi angkringan itu. Rasanya lega dengan hanya beberapa ribu saja bisa kita dapatka semuanya. Selain perut kenyang disini juga di akjarkan pentingnya menjaga kepercayaan dari penjual, piawai dalam berdiskusi dan mampu mendengarkan pendapat orang lain. Satu yang membuatku kagum ternyata rakyat tak sebodoh dan ilmu pengetahuannya tak sedangkal seperti yang kita kira meskipun terkadang mereka hanya belajar disini, Universitas Angkringan.

Fathoni Arief

Comments